Selasa, 15 Januari 2013


YOU WERE MINE
Karya Victoria Diora Artha

Aku gak sedih. Sama sekali nggak waktu aku memutuskan hubungan kami. Aku tersenyum lega malah. Lega karena aku gak harus memalsukan perasaan lagi untuk membuat dia tersenyum bahagia.

Ya, aku tahu aku kejam. Menerima dia hanya untuk memainkan perasaannya. Aku belum pernah pacaran, jadi saat Justin Eriko Sentana, cowok basket keren sekaligus kakak kelasku itu mengajakku ke lapangan basket yang lagi sepi dan menyatakan cintanya untukku, why not? Lagipula dia eksis dan ganteng kok , batinku waktu itu.
“Hmm.., iya.. gue mau,” ucapku saat itu. Perasaanku campur aduk, antara bimbang dan senang.

Wajah Justin yang semula pucat pasi langsung berubah seketika. Air mukanya menjadi lebih rileks dan wajahnya semakin tampan. Dia tertawa lega lalu berkata, “makasih ya Jessica.., mau aku anterin pulang?”

Aku mengangguk kecil seraya tersenyum kalem padahal saat itu aku ingin sekali melompat-lompat di tengah lapangan sambil menjerit-jerit, “AAAAA!! Aku punya pacar! Aku punya pacaaaaaaaaar!!! Pacarku cakeeeeeeeeeeeeeeep!!!”. Tapi kutepis pikiran itu jauh-jauh. Bisa-bisa Justin memutusiku karena aku bertindak konyol seperti itu.

Justin menuntunku berjalan lalu dengan santai merangkul bahuku. Deg! Perasaan aneh menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Walaupun aku tidak punya perasaan sedikitpun terhadap cowok ini, aneh rasanya seorang cowok (apalagi kakak kelas yang ganteng) merangkul bahuku. Dengan kikuk aku berjalan di sebelahnya dan dalam.. rangkulannya.

Aku tersenyum sedikit mengenang kejadian itu, kejadian teraneh sekaligus terindah semasa hidupku. Eit, aku lupa, ada kejadian lebih indah daripada kejadian ini. Hahaha, kejadian saat hari Valentine.. kututup mataku sejenak mengenang kejadian itu.

Hari Valentine, hari yang paling ditunggu-tunggu remaja-remaja yang telah mengenal cinta. Aku sendiri tidak terlalu semangat menanti hari itu, malah aku hampir lupa hari itu hari Valentine.

Begitu sampai di sekolah, aku menemukan secarik kertas berwarna pink di atas mejaku. Dengan penasaran, kuraih kertas itu dan kulihat tulisan di kertas pink, tulisannya berantakan. Tulisan Justin.
“hayooooo, itu surat dari Justin ya? Cieeeeeeeeeeeee…,” sorak teman sekelasku, Eliza, yang membuat seluruh teman-teman sekelasku mencie-cie dan menyorakiku.

Aku gelagapan. “hah? Nggak kok, sok tau lo, Liz!”
“halah, bohong aja lo, ngaku aja deh Jess!”sahut Dylan, teman sekelasku yang paling iseng.

Dih, daripada harus meladeni teman-teman sekelasku yang berisik, mending aku baca surat dari Justin.

Pulang sekolah di taman belakang. See you, Beautiful.

Segera kulipat surat itu dan dengan tidak sabar menunggu waktu pulang sekolah.

Singkat cerita waktu pulang sekolah pun tiba, perasaan gugup itu ada, tapi aku memberanikan diri berjalan ke taman belakang sekolah. Sepi, belum ada Justin. Apa dia lagi mengerjaiku sekarang? Hhhh.. gak tau diri si Justin..
“Happy Valentine’s day, sweetie,” suara siapa itu? Suara Justin-kah itu? Dengan cepat aku membalikan tubuhku, Justin berada tepat di depanku, sedang menenteng dua buah kotak berwarna putih dengan pita perak menghiasi kotak itu. Dua buah kotak berbeda ukuran. Satu besar dan satu kecil. Aku membayangkan apa yang ada di dalam kotak itu.
“hai, selamat hari Valentine juga, Justin,” aku berusaha memberikan senyum termanisku kepadanya.
“udah nunggu lama ya, tadi? Sorry tadi pak Tristan ngebahasnya agak lama, hehehe,” dia nyengir lebar.
“nggak kok.”
“oh, bagus deh. By the way, ini buat kamu, I hope you like it..,” ucapnya penuh perasaan seraya memberikan kotak-kotak misterius itu.
“makasih ya.. boleh aku buka?” aku menerimanya.
“boleh kok, tapi kamu buka kotak yang lebih kecil dulu, oke?” ia tersenyum sambil mengacak-acak rambutku. Ah, Justin.. rambutku kan jadi berantakan!

Aku membuka kotak yang lebih kecil itu pelan-pelan. Pitanya kulepas dengan rapi dan kutatap mata Justin sebelum membuka kotak itu. Ia menatapku dengan tatapan penuh harapan. Apa ya isi kotak ini? apa seperti di film-film? Cincin atau jam atau perhiasan lainnya? Dengan pelan aku membuka kotak itu, lalu aku terkesiap. Isinya.. kalung perak berbandul bintang dengan hiasan elegan. Satu kata: indah.
“bagus gak?” Justin mengedip ke arahku. Hebat sekali si Justin, bisa membeli kalung seindah ini. Memang sih, aku dengar Justin berasal dari keluarga kaya dan terhormat, gak heran.

Saking terpesonanya pada kalung itu, aku hanya bisa diam dan mengagumi keindahan kalung itu. “eh.. ini buat aku?”

Justin tertawa terbahak-bahak, “kamu lucu banget sih, ya jelaslah itu buat kamu..,” katanya di sela-sela tawanya.

Aku cemberut. Ih, masa aku diketawain sama Justin?
“jangan cemberut dong, sayang.. sini, aku pakein,” Justin berdiri di belakangku setelah mengambil kalungnya.

Gugup. Aku menyampingkan rambutku agar Justin bisa memakaikan kalungnya tanpa ribet. Justin memasangkan kalung itu pelan dan setelah dia memasangnya, dia mengacak-acak rambutku lagi.
“Nah, cewek gue tambah cantik deh pake kalung..,” goda Justin.
“hehehehe..” aku tertawa dengan cengiran lebar.

Aku bingung dengan Justin, dari dulu aku selalu bingung, kenapa dia mau dengan wanita sepertiku, yang gak cantik dan gak populer.. sedangkan, Justin? Ganteng, keren, populer, tajir, pintar main basket. Wuih.. segalanya. Gak pantas banget kalau pacaran sama aku.

Dengan perasaan canggung, aku memandangi dirinya yang penuh pesona. Dia yang seolah merasakan pandanganku balas memandangku. “kenapa, Jess?”
“umm.. boleh aku tanya sesuatu?” ujarku pelan.
“boleh lah! Mau nanya apa, sayang?” Justin menatapku lembut.
“ummm.. kok kamu mau sama cewek jelek dan gak populer seperti aku? Sedangkan kamu populer dan ganteng banget..”

Air muka Justin berubah sedikit. “apaan sih kamu, kamu tuh cantik banget, Jessica Diandra. Cuma orang yang matanya rabun dan buta aja yang bilang kamu jelek, dan soal kepopuleran.. itu gak penting, yang penting kan kamu baik hati dan tidak sombong. Jangan pernah menganggap diri kamu jelek ya? Kamu tuh cantiiiiik banget di mataku.”

Lalu dia memelukku erat. Aku gak gugup, pelukan ini terasa tepat dan sangat pas.

Justin baik sekali ya, rasanya ingin menangis di pelukannya.

Segera kuhilangkan kenangan itu jauh-jauh dari otakku, kenangan indah itu harus pergi. Face the truth, aku kan gak punya feeling sama dia, sama sekali gak punya. Tapi kenapa aku ngerasa kehilangan saat aku baru saja memutusi dia tadi?
*

Jam menunjukkan pukul 02:13 pagi. Putus asa, aku bangkit dari tempat tidurku lalu menyalakan lampu. Hhh.. aku belum bisa tidur, omonganku tadi siang dengan Justin tentang ‘putus-hubungan’ berputar-putar di otakku seperti kaset rusak.

Aku berusaha untuk tidak menyesal telah memutus hubungan kami selama 3 bulan ini. Aku kan memang gak pernah suka ataupun sayang padanya. Lalu apa yang sedang kurasakan saat ini? Gak rela? Bukankah perasaan gak rela itu artinya mencintai? Ah.. gak mungkin... dan gak boleh.

Tok tok tok pintu kamarku diketuk. Siapa sih subuh-subuh begini?
“ya, masuk aja.”

Pintu dibuka dan batang hidung kak Jennifer, kakak kandung perempuanku muncul dari balik pintu, “lo belum tidur?”
“belum hehehe, lo sendiri? Skripsi ya?” tanyaku seraya mempersilakannya duduk di sofa kamarku.
“yoi. Ngomong-ngomong lo kok belum tidur? Terus kenapa muka lo kelipet gitu? Berantem sama si Justin?” kakakku dengan santai bertanya, berbeda sekali dengan aku yang terbelalak karena pertanyaannya tepat sasaran.
“nggak kok, besok banyak ulangan jadi agak stres gitu deh,” aku berbohong.

Kak Jennifer menyeringai mendengar jawabanku. “idih, bohong lo keliatan tuh.. kok bisa berantem? Bukannya dia sayang banget ya sama lo?”

Aku terdiam sejenak. Gak pernah tuh aku cerita pada kak Jennifer tentang Justin, kok dia bisa tahu ya? Mereka bertemu saja baru pernah sekali.. sewaktu Justin mengantar aku pulang dan kak Jennifer memergoki kami.
“tau dari mana dia sayang banget sama gue?”
“kelihatan dari raut mukanya waktu nganterin lo, dia ngeliatin lo penuh perasaan gitu deh. Cieeeee,” kakakku memeletkan lidahnya iseng.

Ucapan kak Jennifer sama saja dengan ucapan teman-temanku yang lainnya, mereka bilang Justin sayang banget sama aku. Aku sendiri gak percaya, cewek kayak aku dapet cowok kayak Justin aja mustahil banget..
*

“Jessi, lo putus sama Justin???” Devina, sahabatku menyerbu saat aku baru saja menginjakan kaki di kelas X-4. Baru saja masuk, aku langsung diserbu!
“yap, kenapa emangnya?”sahutku datar. Aku segera mengambil tempat duduk di deretan paling belakang, di sebelah Devina yang lagi bersedekap dan menatapku seperti meminta penjelasan.
“apaan?” kubalas tatapannya dengan tatapan tak acuh.

Devina memelototiku. Oke, mungkin aku memang harus memberikan penjelasan daripada harus habis dicubiti sampai biru-biru oleh Devina.
“Oke, gue mutusin dia kemarin siang waktu dia lagi latihan basket..,” aku diam sebentar.

Devina menaikkan alisnya, tanda agar aku melanjutkan cerita sedihku.
“yah, gue putusin karena gue emang gak pernah suka ataupun sayang sama dia, gue gak pengin nyakitin hati dia dengan cara mainin dia. Lagipula kemarin dia gak nyegah gue, dia cuma diem, ya udah.”
“bohong! Lo sebenarnya sayang kan sama dia?”
“nggak ih, gue gak sayang sama dia. Gue cuma nerima dia karena gue pengin merasakan enaknya pacaran,” kataku ragu-ragu. Aku saja masih bingung dengan perasaanku sekarang, kalau aku gak menyukai dia, aku pasti akan merasa biasa saja bila kami berpisah, tapi kini di hatiku mengganjal perasaan hambar.

Entah apa rasa itu, tapi yang jelas.. aku gak akan pernah membiarkan hatiku mencintai Justin. Dia terlalu baik untuk aku sakiti.
*

Lapangan basket terlihat sepi hari ini, hanya beberapa anak yang berlatih basket dan beberapa penonton cewek yang senang meneriaki cowok-cowok basket yang mengoper bola. Dan tidak terkecuali, aku. Namun aku hanya berdiri di ujung lapangan basket melihat mantan kekasihku, Justin, mendribble bola dengan tidak semangat. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku.

Di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, tersimpan rasa rindu yang amat dalam pada kenangan-kenangan manis maupun pahit kami. Ya, aku jujur. 3 bulan bukanlah waktu yang singkat. Aku menyadari semakin lama kami bersama, benih-benih rasa itupun tumbuh. Walaupun memang susah untuk menghindari rasa itu, aku harus mengakuinya.. aku telah jatuh hati padanya saat kita mulai bersama, tapi aku berusaha sekuatnya untuk menyangkal rasa itu. Aku sayang padanya.. bila dia tak ada, aku merindukannya, dan saat aku memutusinya, aku merasa kehilangan.

Aku memang munafik, aku memang jahat. Tapi aku telah mengakuinya bukan? Aku menyayangi Justin.

Jika kesempatan untuk bersanding kepadanya lagi masih ada, aku tak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak akan takut mengatakan padanya bahwa aku sayang padanya, dan aku akan menyayanginya dengan tulus. Yah.. kalau memang ada kesempatan itu.

Tetapi, kalaupun nanti kami takkan bisa bersama lagi, aku hanya bisa berterimakasih atas waktu yang telah ia luangkan untukku, untuk mengajariku arti cinta dan untuk kalung berbandul yang masih terpasang di leherku hingga kini. Terima kasih.

Aku menggenggam bandul kalung yang sedang kukenakan itu dengan penuh perasaan. Tepat saat itu, Justin berhenti mendribble bolanya. Kini, matanya mengitari sekitar lapangan. Dan.. dia berhenti ketika melihatku, matanya terpaku saat melihatku. Oh Tuhan.. apa yang harus kulakukan? Dengan perasaan gugup, aku tersenyum kecil ke arahnya. Dan guess what? Kini ia sedang menghampiriku dengan ragu-ragu. Dan dengan senyum manisnya yang mengembang lebar.QQ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar